Kamis, 17 Oktober 2013

AIK II

KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA

Agama dikatakan memberi pandangan dunia kepada manusia karena ia sentiasanya memberi penerangan kepada dunia(secara keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan dalam masalah ini sebenarnya sulit dicapai melalui indra manusia, melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya bahwa dunia adalah ciptaan Allah(s.w.t) dan setiap manusia harus menaati Allah(s.w.t). begitu juga untuk yang beragama lain dengan kepercayaan kepada Tuhan yg di miliki.
Ada tiga istilah yang dikenal tentang agama, yaitu: agama, religi dan din.
Secara etimologi, kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta, yang berasal dari akar kata gam artinya pergi. Kemudian akar kata gam tersebut mendapat awalan a dan akhiran a, maka terbentuklah kata agama artinya jalan. Maksudnya, jalan untuk mencapai kebahagiaan.
Di samping itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang akar katanya adalah a dan gama. A artinya tidak dan gama artinya kacau. Jadi, agama artinya tidak kacau atau teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan yang dihadapi dalam hidupnya, bahkan menjelang matinya.
Kata religi–religion dan religio, secara etimologi — menurut Winkler Prins dalam Algemene Encyclopaedie–mungkin sekali berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata religere atau religare yang berarti terikat, maka dimaksudkan bahwa setiap orang yang ber-religi adalah orang yang senantiasa merasa terikat dengan sesuatu yang dianggap suci. Kalau dikatakan berasal dari kata religere yang berarti berhati-hati, maka dimaksudkan bahwa orang yang ber-religi itu adalah orang yang senantiasa bersikap hati-hati dengan sesuatu yang dianggap suci.
Sedangkan secara terminologi, agama dan religi ialah suatu tata kepercayaan atas adanya yang Agung di luar manusia, dan suatu tata penyembahan kepada yang Agung tersebut, serta suatu tata kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan yang Agung, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam yang lain, sesuai dengan tata kepercayaan dan tata penyembahan tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada agama dan religi terdapat empat unsur penting, yaitu: 1) tata pengakuan atau kepercayaan terhadap adanya Yang Agung, 2) tata hubungan atau tata penyembahan terhadap yang Agung itu dalam bentuk ritus, kultus dan pemujaan, 3) tata kaidah/doktrin, sehingga muncul balasan berupa kebahagiaan bagi yang berbuat baik/jujur, dan kesengsaraan bagi yang berbuat buruk/jahat, 4) tata sikap terhadap dunia, yang menghadapi dunia ini kadang-kadang sangat terpengaruh (involved) sebagaimana golongan materialisme atau menyingkir/menjauhi/uzlah (isolated) dari dunia, sebagaimana golongan spiritualisme.
Selanjutnya, kata din–secara etimologi–berasal dari bahasa Arab, artinya: patuh dan taat, undang-undang, peraturan dan hari kemudian. Maksudnya, orang yang berdin ialah orang yang patuh dan taat terhadap peraturan dan undang-undang Allah untuk mendapatkan kebahagiaan di hari kemudian.
Oleh karena itu, dalam din terdapat empat unsur penting, yaitu:
1.    tata pengakuan terhadap adanya Yang Agung dalam bentuk iman kepada Allah,
2.    tata hubungan terhadap Yang Agung tersebut dalam bentuk ibadah kepada Allah,
3.    tata kaidah/doktrin yang mengatur tata pengakuan dan tata penyembahan tersebut yang terdapat dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi,
4.    tata sikap terhadap dunia dalam bentuk taqwa, yakni mempergunakan dunia sebagai jenjang untuk mencapai kebahagiaan akhirat.
Sedangkan menurut terminologi, din adalah peraturan Tuhan yang membimbing manusia yang berakal dengan kehendaknya sendiri untuk kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
Berdasarkan pengertian din tersebut, maka din itu memiliki empat ciri, yaitu:
1.    din adalah peraturan Tuhan,
2.    din hanya diperuntukkan bagi manusia yang berakal, sesuai hadis Nabi yang berbunyi: al-din huwa al-aqlu la dina liman la aqla lahu, artinya: agama ialah akal tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal,
3.    din harus dipeluk atas dasar kehendak sendiri, firman Allah: la ikraha fi al-din, artinya: tidak ada paksaaan untuk memeluk din (agama),
4.    din bertujuan rangkap, yakni kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat
PERANAN AGAMA BAGI KEHIDUPAN MANUSIA
Agama mempunyai peranan yang sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia, karena tidak hanya mengatur kehidupan manusia dalam akhirat saja tetapi juga mengatur bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia. Agama mengajarkan nilai-nilai moral sebagai hasil pemikiran tanpa dikendalikan oleh cahaya kebenaran agama, akan mudah menjurus tanpa dikendalikan oleh cahaya kebenaran agama, akan mudah menjurus kepada kesesatan. Hal ini justru akan membahayakan manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.
Artinya : Allah pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir pelindung-pelindung ialah syeitan, yang mengeluarkan mereka dair pada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Dalam usaha menjadikan ajaran agama sebagai referensi dari setiap gerak langkah seseorang, maka pelajaran agama harus diberikan sedini mungkin, bahkan sejak dari buaian sampai ke liang lahat. Mulai dari bersifat pembiasaan di rumah tangga, sampai kepada pendidikan formal pada lembaga-lembaga pendidikan. Kebiasaan hidup beragama dalam lingkungan rumah tangga sehari-hari, sudah merupakan pendidikan, walaupun ini sifatnya informal. Namun karena di sini penanaman pertama benih jiwa keagamaan, maka maknanya sangatlah penting.
Sehubungan dengan hal di atas, Al-Ghazali seorang pemimpin keagamaan dan seorang sufi mengatakan bahwa “pendidikan agama harus dimulai sejak dini. Sebab usia dini anak siap menerima akidah-akidah keagamaan hanya dengan mempercayai tanpa minta argumentasi. Ia begitu senang menerima dan mempercayainya” Menanamkan agama dengan cara ini memang belum sempurna dan harus diikuti dengan tindak lanjut secara gradual sesuai dengan perkembangan intelektualnya.
Khususnya pendidikan agama di sekolah merupakan lanjutan dari pendidikan informal, yakni pendidikan yang dilaksanakan di lingkungan keluarga. Dalam hal ini, pendidikan agama di sekolah mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu
     Membina secara formal pendidikan agama yang telah dimulai di rumah tangga, yaitu memupuk jiwa keagamaan yang telah dimiliki.
     Mendorong terbentuknya kebiasaan dan sikap hidup menurut ketentuan agama Islam
     Menunjang tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional

KEDUDUKAN DAN FUNGSI MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH, SEBAGAI HAMBA, & SEBAGAI PEMBANGUN

a.    Kedudukan manusia sebagai khalifah
Selain bertugas sebagai hamba yang harus selalu mengabdi, manusia hidup di dunia memiliki kedudukan terhadap makhluk-makhluk yang lainnya. Fungsi ini dinamakan dengan fungsi kekhalifahan (khilafah), sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah;
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Al-Baqarah:30)
Khalifah secara bahasa berarti pengganti atau wakil. Maka manusia di muka bumi ini menjadi khalifah Allah, atau wakil Allah. Ibnu Jarir at-Thabari menjelaskan, bahwa Allah mengangkat manusia sebagai khalifah-Nya untuk menggantikan Allah dalam memutuskan perkara secara adil terhadap makhluk-makhluk Allah.
Dr. Quraisy Syihab menjelaskan tentang kekhalifahan ini, “Ia berkewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis, dan agama, akal dan budayanya terpelihara”.Pengangkatan manusia sebagai khalifah ini berkaitan dengan anugerah sifat ketuhanan kepada manusia, di antaranya adalah kehendak (iradah). Manusia yang bebas berkehendak dan bebas memilih ini diuji oleh Allah, mau berkehendak yang sesuai dengan Dzat yang mewakilkan atau tidak. Dan kelak manusia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas jabatannya sebagai khalifah itu di akhirat.

b.    Misi dan fingsi penciptaan manusia
Misi dan fungsi penciptaan manusia adalah untuk penyembahan kepada Sang Penciptanya, Allah SWT. Pengertiaan penghambaan kepada Allah tidak boleh diartikan secara sempit dengan membayangkan aspek ritual yang tercermin dalam salat saja. Penyembahan berarti ketundukan manusia kepada hukum-hukum Allah dalam menjalankan kehidupan di muka bumi ini, baik yang menyangkut hubungan vertikal maupun horizontal.
Penyembahan manusia kepada Allah lebih mencerminkan kebutuhan manusia terhadap terwujudnya sebuah kehidupan dengan tatanan yang baik dan adil. Oleh karena itu penyembahan tersebut harus dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan, karena Allah tidak membutuhkan sedikit pun pada manusia termasuk ritual-ritual penyembahannya.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka member Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan Lagi Sangat Kokoh”. (Az-Zaariyaat,51:56-58)

c.    Pembagian manusia sebagai hamba Tuhan sekaligus khalifah-Nya
1.    Golongan yang tidak tahu atau tidak sadar yang mereka itu hamba Tuhan dan khalifah-Nya
2.    Golongan yang tahu bahwa mereka adalah hamba dan khalifah Allah di bumi tetapi rasa kehambaan dan kekhalifahannya tidak ada atau tidak wujud.
3.    Golongan yang merasa kehambaan dan kekhalifahan kepada Allah di bumi. Rasa kehambaan dan rasa kekhalifahannya kepada Allah itu kuat.
4.    Golongan yang sifat kehambaannya dan memperhambakan diri kepada Allah lebih menonjol daripada kekhalifahannya kepada Allah.
5.    Golongan yang sifat kekhalifahannya kepada Allah lebih menonjol daripada sifat kehambaannya
AGAMA SAMAWI DAN AGAMA ARDHY

1.    AGAMA SAMAWI/WAHYU
2.    Agama samawi/wahyu disebut juga agama langit yang artinya agama yang diterima oleh manusia dari allah sang pencipta melalui malaikat Jibril dan disampaikan serta disebarkan oleh rasul-nya kepada umat manusia.
Adapun ciri-ciri agama samawi sebagai berikut :
a)    Agamanya tumbuh secara kelahiran dapat ditentukan dari tidak ada menjadi ada.
b)    Agama ini mempunyai kitab suci yang otentik (ajarannya bertahan/asli dari tuhan)
c)    Secara pasti dapat ditentukan lahirnya,dan bukan tumbuh dari masyarakat,melainkan diturunkan kepada masyarakat.
d)    Disampaikan oleh manusia yang dipilih allah sebagai utusan-nya.
e)    Ajarannya serba tetap,walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai dengan kecerdasan dan kepekaan manusia
f)    Konsep ketuhanannya monotheisme mutlak (tauhid).
g)    Kebenarannya adalah universal yaitu berlaku bagi setiap manusia,masa dan keadaan
3.     AGAMA ARDLY/BUDAYA
Suatu faham yang berasal dari suatu tradisi, adat istiadat yang harus dilestarikan.
Adapun ciri-ciri agama ardly/budaya sebagai berikut:
a)    Konsep ketuhanannya panthaisme, dinamisme, dan animisme.
b)    Tumbuh secara komulatif dalam masyarakat penganutnya.
c)    Tidak disampaikan oleh utusan tuhan (rasul)
d)    Umumnya tidak memiliki kitab suci.
e)    Ajarannya dapat berubah-ubah ,sesuai dengan akal perubahan akal pikiran penganutnya.
f)    Kebenaran ajarannya tidak universal,yaitu tidak berlaku bagi setiap manusia,masa dan keadaan.
Perbedaan ke dua agama ini dikemukakan Al Masdoosi dalam Living Religius of the world sebagai berikut:
1)    Agama wahyu berpokok pada konsep keesaan tuhan,sedangkan agama budaya tidak demikian.
2)    Agama wahyu beriman kepada nabi,sedangkan agama budaya tidak.
3)    Agama wahyu sumber utamanya adalah kitab suci yang diwahyukan,sedangkan agama budaya kitab suci tudak penting.
4)    Semua agama wahyu lahir di timur tengah,sedangkan agama budaya lahir diluar itu.
5)    Agama wahyu lahir da daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh ras simetik.
6)    Agama wahyu memberikan arah yang jelas dan lengkap baik spiritual maupu material sedangkan agama budaya menitik beratkan aspek spiritual saja.
7)    Ajaran agama wayu jelas dan tagas, sedangkan agama budaya kabur dan elastis.

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM POKOK AGAMA ISLAM
Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam yang utama. Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an dijaga dan dipelihara oleh Allah SWT, sesuai dengan firmannya sebagai berikut:
”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al=Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS 15:9)
”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an. Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS 4:82
Kandungan Al-Qur’an, antara lain adalah:
1.    Pokok-pokok keimanan (tauhid) kepada Allah, keimanan kepada malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab, hari akhir, qodli-qodor, dan sebagainya.
2.    Prinsip-prinsip syari’ah sebagai dasar pijakan manusia dalam hidup agar tidak salah jalan dan tetap dalam koridor yang benar bagaiman amenjalin hubungan kepada Allah (hablun minallah, ibadah) dan (hablun minannas, mu’amalah).
3.    Janji atau kabar gembira kepada yang berbuat baik (basyir) dan ancaman siksa bagi yang berbuat dosa (nadzir).
4.    Kisah-kisa sejarah, seperti kisah para nabi, para kaum masyarakat terdahulu, baik yang berbuat benar maupun yang durhaka kepada Tuhan.
5.    Dasar-dasar dan isyarat-isyarat ilmu pengetahuan: astronomi, fisika, kimia, ilmu hukum, ilmu bumi, ekonomi, pertanian, kesehatan, teknologi, sastra, budaya, sosiologi, psikologi, dan sebagainya.
Keutamaan Al-Qur’an ditegaskan dalam Sabda Rasullullah, antara lain:
1.    Sebaik-baik orang di antara kamu, ialah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya
2.    Umatku yang paling mulia adalah Huffaz (penghafal) Al-Qur’an (HR. Turmuzi)
3.    Orang-orang yang mahir dengan Al-Qur’an adalah beserta malaikat-malaikat yang suci dan mulia, sedangkan orang membaca Al-Qur’an dan kurang fasih lidahnya berat dan sulit membetulkannya maka baginya dapat dua pahala (HR. Muslim).
4.    Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah, maka pelajarilah hidangan Allah tersebut dengan kemampuanmu (HR. Bukhari-Muslim).
5.    Bacalah Al-Qur’an sebab di hari Kiamat nanti akan datang Al-Qur’an sebagai penolong bagai pembacanya (HR. Turmuzi).
Fungsi Al-Qur’an antara lain adalah:
1.    Menerangkan dan menjelaskan (QS. 16:89; 44:4-5)
2.    Al-Qur’an kebenaran mutlak (Al-Haq) (QS. 2: 91, 76)
3.    Pembenar (membenarkan kitab-kitab sebelumnya) (QS. 2: 41, 91, 97; 3: 3; 5: 48; 6: 92; 10: 37; 35: 31; 46: 1; 12: 30)
4.    Sebagai Furqon (pembeda antara haq dan yang bathil, baik dan buruk)
5.    Sebagai obat penyakit (jiwa) (QS. 10: 57; 17:82; 41: 44)
6.    Sebagai pemberi kabar gembira
7.    Sebagai hidayah atau petunjuk (QS. 2:1, 97, 185; 3: 138; 7: 52, 203, dll)
8.    Sebagai peringatan
9.    Sebagai cahaya petunjuk (QS. 42: 52)
10.    Sebagai pedoman hidup (QS. 45: 20)
11.    Sebagai pelajaran
HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM YANG KE DUA
A.    Dialektika Perdebatan Hadits dan Kehujjahannya.
Di dalam al-Quran, ada beberapa kandungannya yang bersifat ijmaly (global) dan umum, namun adapula kandungan al-Quran yang bersifat tafshily (terperinci). Hal-hal yang bersifat global dan umum, sudah barang tentu memerlukan penjelasan-penjelasan yang lebih terang dalam penerapannya sebagai pedoman hidup manusia. Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah diberikan tugas dan otoritas untuk menjelaskan isi kandungan al-Quran itu. Bahkan untuk hal-hal yang bersifat teknis ritu, penjelasan itu bukan hanya bersifat lisan, tetapi juga langsung amalan praktis.
Para ulama telah sepakat bahwa Hadits atau al-Sunnah al-Nabawiyah wajib ditaati sebagaimana posisi al-Quran di dalam pengambilan suatu hukum syariat (itsbat al-Hukum), al-Sunnah adalah sumber kedua dalam Syariat Islam [1], dalil hal tersebut banyak sekali terdapat dalam al-Quran, ijma’, dan Filsafat (pemikiran para ulama’) [2].
Allah berfirman dalam Surat an-Nahl ayat 44;
Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

Ayat tersebut merupakan salah satu penetapan tugas Rasul untuk menjelaskan al Quran itu. Bahkan dalam surat al-Hasyr ayat 7 dan surat an-Nisa’ ayat 80, Allah memberi penegasan atas kewajiban ummat Islam untuk mentaati dan mengikuti segala apa yang dikemukakan oleh Rasulullah.
Artinya : Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (QS. Al-Hasyr 7).
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa’ 80).
Kebanyakan ulama Hadits menyepakati bahwa dilihat dari segi sanad, Hadits itu terbagi menjadi 2 yaitu; Hadits mutawatir dan Hadits ahad. Namun menurut versi yang dikemukakan kalangan Hanafiyah, Hadits itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: mutawatir, masyhur, dan ahad [3].
Semua ulama telah sepakat akan kehujjahan Hadits Mutawatir, namun mereka berselisih  pendapat dalam hal kehujjahan Hadits ahad, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau jamaah, namun tidak mencapai derajat mutawatir. [4] 
    Mayoritas umat Islam telah sepakat untuk menerima Hadits sebagai landasan (dasar) hukum Islam, namun terdapat pula golongan minoritas yang menolak Hadits sebagai sumber syari’at setelah al-Quran. Mereka berasumsi bahwa cukuplah al-Quran saja sebagai dasar tasyri’ [5].
Mereka memperkuat argument mereka dengan firman Allah dalam Surat An-Nahl 89 yang berbunyi;
Artinya : Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Menurut mereka, ayat tersebut sangatlah jelas menunjukkan bahwa al-Quran itu telah mencakup seluruh persoalan agama, hukum-hukum dan telah memberikan penjelasan dengan sangatlah gamblang dan jelas, hingga tidak memerlukan lagi yang lain, seperti Hadits. Jika masih memerlukannya, niscaya di dalam al-Quran masih terdapat sesuatu yang dilalaikan.
    Argument selanjutnya yaitu andaikata Hadits itu sebagai hujjah, niscaya Rasulullah Saw. memerintahkan untuk menulisnya sehingga para Sahabat dan Tabi’in segera mengumpulkannya dalam dewan Hadits, demi untuk memelihara agar tidak hilang dan dilupakan orang. Hal demikian itu supaya diterima kaum muslimin secara qath’iy. Sebab dalil yang dzonny tidak sah dijadikan landasan dalam berhujjah. [6] 
    Namun pendapat tersebut dianggap kurang kuat,  dan kemudian dimentahkan oleh pendapat para Jumhur Ulama’;
a)      Al-Quran memuat dasar-dasar agama dan kaidah-kaidah yang masih global (umum) dan hanya sebagian nashnya yang telah diterangkan dengan jelas, dan sebagian yang lain diterangkan oleh Rasulullah Saw. Karena memang beliau diutus oleh Allah untuk menjelaskan kepada manusia  tentang hukum-hukum yang ada di dalam al-Quran. Oleh karena itu, maka penjelasan Rasulullah Saw tentang hukum-hukum itu sama urgennya dan sama halnya dengan penjelasan al-Quran itu sendiri. 
b)      Tidak adanya perintah menulis Hadits dan melarang menulisnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Hadits Shahih, tidak menunjukkan ketiadaan kehujjahan Hadits.
Bahkan kemaslahatan yang lebih sesuai di saat itu adalah untuk menulis al-Quran dan mendewankannya, untuk menjaga agar jangan sampai hilang dan bercampur dengan sesuatu. Kehujjahan itu tidak terletak hanya pada tertulisnya Hadits saja, tetapi juga terdapat pada ke-mutawatir-annya, pengambilannya dari orang adil lagi terpercaya dan diberitakan oleh orang-orang yang kuat hafalannya. Pemindahan dengan cara demikian bukan berarti kurang sah daripada pemindahan dari tulisan. [7]

B.     Fungsi Hadits terhadap al Quran.
Hadits ataupun kata lainnya as-Sunnah dan al-Quran mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Keduanya merupakan sumber hukum Islam, namun posisi as-Sunah adalah yang kedua setelah al-Quran. Hadits sebagai penafsir al-Quran, penyingkap rahasia-rahasia al-Quran, penjelas atas maksud-maksud yang dikehendaki Allah dari perintah-perintah dan hukum-hukum-Nya yang ada di dalam al-Quran.
Dari segi dilalah al-Ahkam, ada 4 fungsi Hadits terhadap al-Quran;
•         Hadits (sunnah) sebagai penjelas apa-apa yang dimaksudkan al Quran, adapun penjelasan itu ada 4 macam yaitu:
a)      Penjelasan terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya shalat dalam al Quran tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat, dan ketentuan-ketentuan lainnya. Maka hal itu dijelaskan oleh Hadits yang berbunyi;
صلّوا كما رأيتمونى أصلّى
Artinya: “Shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu telah melihat aku shalat.” [8]
b)      Mentaqyid yang mutlaq, contohnya adalah Hadits-Hadits yang menjelaskan pengertian dari kata اليد  dalam firman Allah surat al Maaidah: 38 yaitu:
والسارق والسارقة فا قطعوا أيديهما
Ayat tersebut menjelaskan maksud dari kata al yad adalah tangan kanan, dan pemotongannya dari pergelangan tangan, bukan dari siku.
c)      Mengkhususkan (mentakhsis) yang umum, contohnya seperti Hadits yang menerangkan maksud dari kata الظلم dalam surat al An’am 82 yaitu:
الذين امنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم
Yang dimaksud dari kata al-Dzulmu adalah syirik, karena sebagian Sahabat memahami secara umumnya sehingga mereka berkata “siapa dari kita yang tidak dzolim”, kemudian Nabi SAW bersabda:
ليس ذلك إنما هو الشرك (رواه أحمد والبخارى)
d)     Penjelas yang samar, contohnya adalah Hadits yang menjelaskan maksud dari kata الخيطين dalam surat al Baqoroh 187 yaitu:
وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الابيض من الخيط الاسود من الفجر
Sebagian Sahabat memahami bahwa itu adalah tali yang putih dan hitam. Maka Nabi bersabda:
هما بياض النهار وسواد الليل

•         Hadits (as-Sunnah) sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan  oleh al Quran, dalam hal ini kedua-duanya menjadi sumber hukum dan berfungsi sebagai penguat (al-ta’kid).
Contoh hadits yang berbunyi;
إنّ الله يملي للظالم فإذا أخذه لم يفلته (رواه الشيخان عن ابن موسى الاشعرى)
Menguatkan Ayat al-Quran yang berbunyi;
وكذالك أخذ ربك إذا أخذ القرى وهي ظالمة [9]
Demikian juga Hadits-Hadits yang menunjukkan akan kewajiban shalat, zakat, haji, berbuat baik, ihsan, memaafkan dll. [10]

•         Hadits (as-Sunnah) sebagai petunjuk atas suatu hukum yang tidak ada di dalam al Quran. Misalnya hadits yang melarang mempoligami antara seorang wanita dengan bibinya baik dari ibu atau ayah.

•         Hadits (as-Sunnah) sebagai penghapus (nasikh) hukum yang ditetapkan al Quran, (Hal ini menurut pendapat yang membolehkan penasakhan al Quran dengan as-Sunah) [11].

Contoh :
لاوصية لوارث (رواه الترميذي)
Hadits di atas menasikh hukum wasiat bagi orang tua, kerabat (ahli waris) yang ditetapkan oleh al Quran surat al Baqoroh 180 yaitu:
كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت ان ترك خيراً الوصية للوالدين والاقربين بالمعروف حقا على المتقين



ISLAM SEBAGAI DIENULLAH
Islam sebagai dienullahIslam sebagai dienullah adalah agama terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Karena yang terakhir maka Islam telah sempurna untuk dijadikan pedoman hidup dan kehidupan umat manusia. Islam mengatur kehidupan dari persoalan pribadi sampa iinternasional, maka siapapun yang berpegang teguh pada ajaran Islam akan dijamin selamat di dunia dan akhirat. Salah satu kesempurnaan
Islam adalah keutuhan ilmu yang bersumber pada satu Dzat, yakni Allah SWT. Maka tidak diragukan sedikitpun akan kandungan Islam yang memberikan arahan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.Segala jenis pengetahuan, dalam tinjauan filsafat, memiliki tiga tiang penyangga. Pertama, ontologi, yang merupakan asas penetapan ruang lingkup serta asas penafsiran akan hakikat pokok objek pengetahuan tersebut.
Kedua, epistemologi, yang merupakan asas metodologik pemerolehan dan penyusunan bangunan pengetahuan. Ketiga, aksiologi, yang merupakan asas tujuan dan pemanfaatan pengetahuan.Konsepsi Islam tentang IlmuKata ilmu dalam bahasa Arab berarti pengetahuan dalam arti amat luas. Kata ilmu sering disama-artikan dengan kata al-ma'arif, asy-syu’ur, walaupun sebenarnya terdapat sejumlah perbedaan mencolok dalam penggunaan.
Kata ma'arif menunjuk pada pemerolehan pengetahuan melalui pengalaman atau perenungan. Karena itu, ia didahului oleh ketidaktahuan. Dengan demikian, kata ma’arif tidak dapat diterapkan terhadap pengetahuan Allah. Kata syu'ur lebih menunjuk kepada persepsi, terutama mengenai rincian hal-ikhwal tertentu, sehingga kata ini memiliki keterbatasan serta tidak dapat digunakan untuk menjelaskan pengetahuan Allah.Al-'Alim adalah sifat utama Allah. Ia termasuk dalam tujuh sifat penting Allah yang dikenal sebagai ummus-shifat (sifat-sifat tertinggi). Karena itu, kata al-'ilmu merupakan satu-satunya kata yang bersifat melingkupi (komprehensif), serta dapat digunakan untuk menggambarkan pengetahuan Allah. Al-Qur’an menyatakan dalam (QS. al-Hasyr: 22): Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.Pengetahuan Allah niscaya melampaui semua gejala, materi dan alam semesta, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat oleh manusia, yaitu seluruh ciptaan atau makhluk Allah. Pengetahuan maha luas berikut ekspresi dan manifestasinya ini yang dimaksud oleh Al-Qur’an (QS. Luqman:27) bahwa: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah[1183]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.kebenaran agama. Akibat lebih lanjut dari cara pandang demikian adalah munculnya konsep kebenaran keilmuan dan kebenaran agama.Melalui penelusuran, penafsiran, dan perumusan ulang atas kecenderungan paradigmatik tersebut, uraian berikut bermaksud mengembalikan pemahaman, kegairahan, dan cita-cita keberilmuan sebagai bagian dari kemuliaan keberagamaan Islam. Untuk itu, penyajian ditata menjadi empat bagian, yaitu: (1) konsepsi Islam tentang ilmu, (2) landasan ontologi ilmu Islam, (3) landasanepistemologi ilmu Islam, dan (4) landasan aksiologi ilmu Islam.Agar dalam mencari kebenaran tidak jauh menyimpang dari konsepsi Al-Qur’an, secara ringkas dapat dikemukakan beberapa kaidah dan paduan. Pertama, agama adalah peristilahan Indonesia. Islam adalah peristilahan Al-Qur’an. Karena itu, makna agama dalam kaitan Islam harus dijabarkan sesuai dengan konsepsi Al-Qur’an, bukan dengan konsepsi lain karena bisa menjadi berbeda sekali makna dan ruang lingkupnya. Kedua, peristilahan Al-Qur’an untuk pengganti istilah agama adalah "Dien" sehingga kata-kata "Dienullah" sering diganti dengan agama Allah, atau kata Dienul Islam, sering diganti dengan Agama Islam. Jadi penjabaran dari istilah agama Islam dalam kaitan dengan ad-dien harus dijelaskan dengan konsepsi Al-Qur'an tentang Dien tersebut
Ketiga, arti Dienullah pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem ciptaan Allah. Termasuk di dalamnya adalah kaidah-kaidah Allah yang melekat dalam sistem tersebut. Kalau Dienullah dihubungkan dengan kehidupan manusia, maka Dienullah menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia dengan lingkungannya, dalam arti lingkungan luas. Keempat, penggambaran pandangan Islam tentang kehidupan
AKAL DAN FUNGSINYA MEMAHAMI ISLAM
A.    Pengertian Akal Dan Wahyu
1.      Akal
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah wa al a’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir). Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera.  Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.
 Menurut pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah digunakan dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut  kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Dengan demikian, orang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, memecahkan problem yang dihadapi dan dapat melepaskan diri dari bahaya yang mengancam. Lebih lanjut menurutnya, kata ‘aql  mengalami perubahan arti setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal ini terjadi disebabkan pengaruh filsafat Yunani  yang masuk dalam pemikiran Islam, yang mengartikan ‘aql  sama dengan nous yang mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui al-qalb di dada akan tetapi melalui al-aql di kepala (Harun Nasution, 1986: 7-8).
Pengaruh filsafat Yunani terhadap filosof-filosof muslim terlihat  dalam pendapat mereka  tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa (an-nafs/ ar-ruh) yang terdapat dalam diri manusia. Seperti  Al-Kindi (796-873) yang terpengaruh Plato, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya berani (al-quwwah al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan  daya berfikir (al-quwwah an-natiqah) yang berpusat di kepala.
Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan, seperti  pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang  membuat  seseorang dapat  membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap oleh panca indera. Di kalangan Mu’tazilah akal memiliki fungsi dan tugas  moral, yakni di samping untuk memperoleh pengetahuan, akal juga memiliki daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan akal merupakan petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya sendiri (Harun Nasution, 1986: 12).
Letak akal Dikatakan di dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46,
yang artinya,” Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu bagi mereka mempunyai al-qolb, yang dengan al-qolb itu mereka dapat memahami (dan memikirkan) dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang dengan telinga itu) mereka mendengarkan dengannya, maka sesungguhnya tidak buta mata mereka tapi al-qolb (mereka) yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
Dari ayat ini maka kita tahu bahwa al-’aql itu ada di dalam al-qolb, karena, seperti yang dikatakan dalam ayat tersebut, memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu dengan al-qolb dan kerja memahami dan memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aql maka tentu al-‘aql ada di dalam al-qolb, dan al-qolb ada di dalam dada. Yang dimaksud dengan al-qolb tentu adalah jantung, bukan hati dalam arti yang sebenarnya karena ia tidak berada di dalam dada, dan hati dalam arti yang sebenarnya padanan katanya dalam bahasa Arab adalah al-kabd.
Dengan demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya berfikir yang terdapat  dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yakni dari Allah SWT.

B.     Fungsi Dan Kedudukan Akal
Al-quran juga memberikan tuntunan tentang penggunaan akal dengan mengadakan pembagian tugas dan wilayah kerja pikiran dan qalbu. Daya pikir manusia menjangkau wilayah fisik dari masalah-masalah yang relatif, sedangkan qalbu memiliki ketajaman untuk menangkap makna-makna yang bersifat metafisik dan mutlak. Oleh karenanya dalam hubungan dengan upaya memahami islam, akal memiliki kedudukan dan fungsi yang lain yaitu sebagai berikut:
1.                  Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran islam.
2.                  Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk mengetahui maksut-maksut yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan Sunnah Rosul.
3.                  Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan nsemangat al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihat.
4.                  Akal juga berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan al-Quran dan Sunnah dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan memakmurkan bumi seisinya.

METODE MEMPELAJARI ISLAM
Memahami Islam secara menyeluruh adalah penting walaupun tidak secara detail. Begitulah cara paling minimal untuk memahami agama paling besar sekarang ini agar menjadi pemeluk agama yang mantap, dan untuk menumbuhkan sikap hormat bagi pemeluk agama lainnya. Di samping itu untuk menghindari kesalahpahaman yang mana memungkinkan timbulnya pandangan dan sikap negatif terhadap Islam, maka untuk memahami Islam secara benar ialah dengan cara-cara sebagai beriku
Pertama, Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kekeliruan memahami Islam karena orang hanya mengenalnya dari sebagian ulama-ulama dan pemeluk-pemeluknya yang telah jauh dari pimpinan Qur’an dan Sunnah. Atau pengenalan dari sumber kitab-kitab fiqih dan tasawuf yang telah tua ketinggalan zaman yang kebanyakan bercampur dengan bid’ah dan khufarat.
Kedua, Islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan cara parsial, artinya ia pelajari secara menyeluruh sebagai suatu kesatuan yang bulat tidak secara sebagian saja. Apabila Islam dipelajari secara sebagian saja dari ajarannya, apalagi yang bukan pokok ajaran dan dalam bidang-bidang masalah khilafiyah, maka tentulah pengetahuannya tentang Islam seperti yang dipelajarinya, yaitu bagian kecil dari masalah dalam Islam dan bukan yang pokok. Walaupun demikian barangkali seseorang tidak mampu atau tidak ada kesempatan untuk mempelajarinya secara detail, maka cukup dengan prinsip-prinsip Islam saja. Dengan mempelajari prinsip-prinsip ajaran Islam, mudah ditemukan pola ajaran Islam dengan sebaik-baiknya sebagai suatu agama yang mengajarkan tentang kehidupan yang harmonis duniawi dan akhirat.
Ketiga, Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama dan sarjana-sarjana Islam. Pada umumnya mereka memahami Islam secara baik, pemahaman yang lahir dari perpaduan ilmu yang dalam terhadap Qur’an dan Sunnah Rasulullah dengan pengalaman yang indah dari praktek ibadah yang dilakukan tiap hari.
Keempat, kesalahan sementara orang mempelajari Islam ialah dengan jalan mempelajari kenyataan umat Islam an sich, bukan agama Islam yang dipelajarinya. Sifat konservatif sebagian golongan Islam, keterbelakangan di bidang pendidikan, keawaman, kebodohan, disintegrasi dan kemiskinan masyarakat Islam itulah yang dinilai sebagai Islamnya sendiri. Tak ada suatu kesalahan besar melainkan dengan cara semacam ini. Maka untuk mempelajari Islam jangan ia pelajari dari segi kenyataan-kenyataan luar sebagian pemeluknya, tapi pelajarilah Islam itu sendiri !
SEJARAH MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan .
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
1)    Eksistensi dan Kisar Gerakan Muhammadiyah
2)    Refleksi Perjuangan Satu Abad Muhammadiyah
3)    Sejarah Singkat Muhammadiyah

SUMBANGSI MUHAMMADIYAH DALAM PEMBANGUNAN BANGSA.
1.     Peran Politik Muhammadiyah pada Awal Kemerdekaan Indonesia
Sejarah telah membuktikan partisipasi dan keterlibatan Muhammadiyah dalam dinamika perkembangan Indonesia dalam tataran lokal maupun nasional. Setelah Maklumat Pemerintah No.X/1945 dikeluarkan, banyak bermunculan partai-partai politik baru termasuk Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Masyumi didirikan pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam sebuah Konggres di gedung Madratsah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Menurut Suwarno dalam tulisannya yang berjudul “Muhammadiyah sebagai Oposisi: Studi tentang Perubahan Perilaku Politik Muhammadiyah Periode 1995-1998” mencatat beberapa kiprah dan inisiatif Muhammadiyah dan Amien Rais.
Pertama, Muhammadiyah yang 33 tahun lebih tua usianya dari Republik ini tidak ada salahnya jika ikut urun rembug pada tahapan perjalanan bangsa yang krusial sepeti suksesi. Bahkan hal itu dirasakan sebagai kewajiban moral bagi Muhammadiyah.
Kedua, pada November 1994, Muhammadiyah menolak rencana Mendikbud Wardiman Djojonegoro yang akan memberlakukan lima hari sekolah. Muhammadiyah menyatakan bahwa rencana lima hari sekolah mengandung kerawanan agama, sosial politik, sehingga dapat mengganggu kelancaran pembangunan nasional.
Ketiga, memasuki awal tahun 1997, Muhammadiyah yang terwakili Amien Rais membongkar skandal proyek tambang emas di Busang, Kalimantan Timur dan PT Freeport di Papua. Amien Rais menilai bahwa pembagian keuntungan dari hasil eksplorasi tambang ini sama sekali tidak adil. Selain itu pertambangan juga merusakkan sistem ekologis, rusaknya jutaan hektar hutan tropis, dan semakin lebarnya jurang pemisah antara sikaya dan si miskin karena trickel down effect sama sekali tidak terjadi.
Berbagai kritikan Amin Rais yang dinilai sangat keras, akhirnya menyebabkan pergesekan dan friksi dengan penguasa. Tindakan Amin Rais mendapat tanggapan serius dari Pemerintah.Amin Rais justru dituduh telah berbuat subversif dan sangat berbahaya. Padahal maksudnya jelas, ingin menyadarkan bangsa ini dari ketertindasan.
Pernyataan kritis Amin Rais maupun Muhammadiyah merupakan aktualisasi dari matan kepribadian Muhammadiyah, yang berbunyi “Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar yang ditujukan pada dua bidang yaitu perorangan dan masyarakat”.
a.    Pemasukan Tujuh Kata Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945
b.    Penerimaan RUU Sisdiknas
c.    Pemberantasan Korupsi.
d.    Penolakan RUU KRR
2.    Usaha-usaha Muhammadiyah dalam mewujudkan terciptanya Masyarakat Madani di Indonesia
a.    Memajukan dan memperbaharui pendidikan dan kebudayaan, mengembangakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni seta mempergiat penelitian menurut tuntunan Islam.
b.    Menggembirakan dan membimbing masyarakat untuk membangun dan memelihara tempat ibadah dan waqaf.
c.    Membina dan menggerakkan angkatan muda, sehingga menjadi muslim yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama.
d.    Membimbing masyarakat kearah perbaikan kehidupan dan mengembangkan ekonomi sesuaai dengan ajaran Islam.
e.    Memelihara, melestarikan, dan memberdayakan kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat.
f.    Membina dan memberdayakan petani, nelayan, pedagang kecil, dan buruh untuk meningkatkan taraf hidupnya.
g.    Menggerakkan dan menghidup-suburkan amal tolong-menolong dalam kebajikan an taqwa dalam bidang kesehatan, sosial, pengembangan masyarakat, dan keluarga sejahtera.
h.    Memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa dan peran serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
3.    Program-program Muhammadiyah yang mengarah pada Terciptanya Masyarakat Madani di Indonesia
a.    Perkaderan dan Pengembangan Sumber Daya Manusi
b.    Pendidikan
c.    Pengembangan Sosial-Budaya dan Peradaban Islam
d.    Kesehatan dan Kulaitas Hidup
e.    Pengembangan Masyarakat
f.    Ekonomi dan Kewiraswastaan
g.    Pelestarian Lingkungan Hidup


Tidak ada komentar:

Posting Komentar